Aswaja Magazine

0
Jika memandang sejarah mengenai Nusantara dari sisi Barat akan kita temukan juga bahwa Snouck Hugronje, seorang ilmuwan Barat yang belakangan diketahui juga berdarah Yahudi menyatakan Islam masuk Indonesia di abad ke-14 lewat pedagang Gujarat. Itulah yang banyak tertulis di buku teks pelajaran sejarah kita. Sejarah ini sudah banyak ditentang oleh cendekiawan-cendekiawan lain dengan mengungkapkan sejuta kebenaran, salah satunya Dr. HAMKA. Faktanya Islam masuk ke Indonesia bahkan ketika Rasulullah masih hidup.

Kalau anda pernah dengar pembalseman mumi dengan kapur barus yang digunakan Firaun Mesir di masa Nabi Musa, itu ternyata adalah sebuah mineral yang diambil dari kampung Barus di dataran Sumatra. Itu bukti kuat bahwa Indonesia jauh-jauh hari sudah terjalin hubungan dengan dunia Timur Tengah, sehingga apa urusannya Islam harus menunggu hingga abad ke-14 untuk menyentuh Nusantara. Bukti lain, ternyata ditemukan sebuah peta kuno perjalanan pelayaran dari Timur Tengah ke Nusantara dari masa kekhalifahan Khulafaurrasyidin. Sebuah peta kuno yang termasuk sudah detil menggambarkan bentuk kepulauan Indonesia. Pada saat yang sama dunia Barat masih berdebat apa bentuk sebenarnya Bumi.

Aswaja Magazine mengumpulkan jejak-jejak masuknya Islam di Nusantara sebagai berikut:

Makam-Makam Tua Di Tapanuli
Kota Barus terletak di pantai barat pulau Sumatera, sekitar 60 km disebelah utara kota Sibolga, berada di sebelah selatan Kecamatan Singkil, Aceh Selatan. Barus dapat dicapai dengan menggunakan pesawat udara dari Medan ke Sibolga selama 30 menit dan dilanjutkan dengan perjalanan darat dari Sibolga selama 2 jam lagi menuju Barus. Atau bisa juga melalui perjalanan darat dengan minibus travel dari kota Medan, ke Barus selama 9 jam.
Peradaban Islam Pertama Di Indonesia

Menjejakkan kaki ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara terasa tak sempurna jika tak mendatangi Kecamatan Barus. Kecamatan ini menyimpan misteri Kerajaan yang namanya tercatat hingga ke Eropa dan Timur Tengah sebagai penghasil kapur barus dan rempah-rempah. Menjejakkan kaki ke Barus mengingatkan saya akan kata-kata bijak “Tidak ada harga atas waktu, tapi waktu sangat berharga. Memiliki waktu tidak menjadikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan baik adalah sumber dari semua kekayaan”

Kota Barus terletak di pinggir Pantai Barat Sumatera. Barus sebagai kota Emporium dan pusat peradaban pada abad 1 – 17 M, dan disebut juga dengan nama lain, yaitu Fansur.

Barus kota tua, menjadi salah satu tujuan wisata bagi para peneliti arkeologi Islam, baik dari dalam negeri dan dari luar negeri, khususnya di Lobu Tua dimana peneliti Prancis dan Indonesia melakukan eksplorasi arkeologi. Saat ini kita dapat melihat peninggalan sejarah Islam di Barus, yaitu dengan adanya makam Papan Tinggi dan makam Mahligai. Butuh waktu dua jam menuju Barus dari Pandan yang jaraknya hanya 58 kilometer. Jalannya juga tak terlalu bagus, kecil dan tak terawat. Padahal, Kota Barus, kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, selama ini dikenal memiliki nilai budaya dan peradaban sejarah serta dikenal di seantero dunia. Kota Tua Barus itu juga dikenal sebagai masuknya Agama Islam pertama di Indonesia.

1. Makam Papan Tinggi

Makam Papan Tinggi
Pemakaman tua pertama yang konon dianggap paling tua berada di sebuah bukit hijau nan terpencil. Makam ini berlatar belakang panorama kota Barus dan Samudra Indonesia di sisi barat, berada diatas ketinggian 153 meter diatas permukaan laut. Badan bukit menuju makam cukup terjal, memiliki kemiringan hingga 45 derajat, cukup sulit untuk didaki.

Anak tangga menuju makam Syech Mahmud, sahabat Rasulullah yang membawa syiar Islam pertama di Indonesia ini dibangun dimasa Soekarno. Yang meresmikannya adalah Adam Malik. Masih di anak tangga pertama, suasana di tempat ini terasa demikian teduh dan menenangkan. Sekelilingnya adalah hutan bercampur dengan tanaman penduduk. Pohon-pohon yang tumbuh membuat kawasan ini menjadi tenang dan tentram.

Terdapat delapan undakan anak tangga menuju Makam Papan Tinggi. Jumlahnya mencapai 744 anak tangga. Di setiap perhentian undakan terdapat tapak kosong untuk tempat beristirahat.

Di lokasi Makam Papan Tinggi ini, terdapat makam terpanjang dan mempunyai batu nisan yang besar dan tinggi. Di batu nisan yang terbuat dari batu cadas dengan berat ratusan kilogram tertulis nama Syech Mahmud Fil Hadratul Maut yang ditarikhkan pada tahun 34 H sampai 44 H yang berarti hidup pada masa Sayyidina Umar Bin Khattab sebagai khalifah. Tidak diketahui bagaimana caranya batu cadas itu bisa sampai di ketinggian ini.

Selain makam panjang, didalam lokasi Makam Papan Tinggi itu juga terdapat lima makam lain yang menurut cerita adalah makam keturunannya. Kamipun melakukan ziarah dan berdoa bagi Aulia yang dimuliakan ini.

Masyarakat Barus menyebutnya Makam Papan Tenggi. Dalam bahasa Indonesia diartikan Makam Papan Tinggi. Dahulu, bukit ini merupakan daerah pengambilan kayu oleh masyarakat yang akan dijadikan bilah-bilah papan. Sejak hadirnya sebuah pemakaman, maka tempat ini dinamakan Makam Papan Tinggi.

Lokasi Makam Papan Tinggi berada di sebuah bukit yang terletak di sisi timur Jalan Raya Barus – Manduamas. Secara administratif makam ini berada di dusun Lobu Tua, Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Makam Papan Tinggi merupakan kompleks pemakaman tua Islam seorang tokoh penyebar agama Islam pertama di Sumatera Utara. Pada kompleks Makam Papan Tinggi terdapat makam istimewa yang memiliki panjang 9 meter, dengan nisan setinggi 1,5 meter. Di sekeliling makam panjang terdapat beberapa makam sederhana dimana nisan makam berupa batu yang ditegakkan tanpa adanya tanda sama sekali. Makam Papan Tinggi diperkirakan didirikan ada tahun 1239 M berdasarkan tulisan yang tertera pada pilar di dekat makam panjang. Kompleks makam dikelilingi pagar dan dinaungi pohon besar. Dahulu, di depan pagar tertanam guci keramat yang mengaliri air tanpa henti meski pada musim kemarau. Kini hanya tinggal berupa lubang tanah berbentuk kotak sedalam 20 sentimeter.

Makam Syekh Mahmud di Makam Papan Tinggi

Makam Syekh Mahmud di Makam Papan Tinggi
Sejarawan kota Barus, Djamaluddin Batubara mengatakan, tokoh utama yang dimakamkan di Makam Papan Tinggi adalah Syekh Mahmud, penyebar agama Islam yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Makam beliau berupa makam panjang, dengan batu nisan putih setinggi 1,5 meter berukir aksara Persia dan Arab kuno.

Mengenai kota Barus sendiri, dahulunya merupakan kota pelabuhan terbesar yang pernah ada di nusantara, jauh sebelum adanya Bandar Malaka dan Samudera Pasai di tanah rencong. Barus mengokohkan dirinya sebagai penghasil kapur barus (kamper) yang terkenal hingga seluruh dunia. Sehingga kota ini dinamakan Barus.

Sejarah mencatat, sejak abad ke-9 kota Barus sudah dikenal sebagai kota dagang. Di masa itu komoditi yang sangat digandrungi semisal buah pala, cengkeh, lada, kulit manis, merica, kemenyan dan kayu bulat, diperdagangkan di Barus. Konon bahan-bahan pembalseman para raja Mesir didatangkan dari Barus.

Barus yang dikenal sebagai kota perdagangan antarbangsa, sangat dimungkinkan terjadinya kontak budaya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berkenaan dengan itu pula, berdatangan rombongan mubaligh asal tanah Arab ke negeri ini untuk tujuan penyebaran agama Islam yang dilatarbelakangi perdagangan. Para mubaligh menghabiskan waktunya untuk syiar Islam di daerah baru. Mereka menopang hidupnya dengan berdagang.

Hadirnya Syekh Mahmud di tanah Barus merupakan salah satu tesis tentang keberadaan penyebar Islam sejak agama ini pertama kali disyiarkan. Arkeolog dan ahli kaligrafi Arab kuno asal Perancis, Prof. Dr. Ludwig Kuvi menyatakan dengan tegas bahwa bukti arkeologis berupa pahatan batu nisan makam Syekh Mahmud menunjukkan beliau adalah seorang pendatang yang telah lama tinggal di Barus. Batu nisan makam Syekh Mahmud bukan batu biasa yang digunakan oleh penduduk Barus, melainkan sejenis batu yang didatangkan dari India. Maka, hampir mustahil Syekh Mahmud seorang biasa yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat Barus. Ukiran batu ayat-ayat Al-Qur’an dan pesan singkat yang Nampak samar memberi isyarat bahwa beliau seorang mubaligh besar.

Teori kedatangan Syekh Mahmud di tanah Barus diperkuat dengan pembuktian yang dilakukan oleh sejarawan Belanda, Dr. Ph. S. Van Ronkel. Sejarawan Belanda ini menyatakan Syekh Mahmud merupakan penyebar ajaran Islam yang pertama di Tapanuli. Dakwah Syekh Mahmud berhasil menyentuh tokoh etnis Batak, Raja Guru Marsakkot, yang akhirnya memeluk agama Islam.

Salah satu ukiran batu pada nisan makam Syekh Mahmud yang berbunyi: “Fa Kullu Syai’un Halikun Illa Wajhullah” yang berarti, “Maka segala sesuatunya hancur kecuali Dzat Allah”. Menurut Djamaluddin Batubara, nilai Islam yang disampaikan Syekh Mahmud kepada masyarakat Barus adalah ajaran Tauhid, yakni mengajak masyarakat pesisir Tapanuli untuk meng-esa-kan Tuhan, Allah SWT.

Mencermati posisi makam Syekh Mahmud yang berada di atas bukit, diperkirakan bahwa beliau adalah guru bagi pengikutnya yang dimakamkan di Makam Mahligai. Terdapat 43 makam para ulama yang berada di kompleks Makam Mahligai. Diantaranya adalah makam Syekh Rukunuddin, kompleks makam Bukit Hasan, makam Tuanku Ambar, makam Tuan Kepala Ujung, makam Tuan Sirampak, makam Tuan Tembang, makam Tuanku Kayu Manang, makam Tuanku Makhdum, makam Syekh Zainal Abidin Ilyas, makam Syekh Ahmad Khatib Siddiq, dan makam Imam Mua’azhamsyah.

Tidak mudah berziarah ke Makam Papan Tinggi. Sebelum menaiki tangga, peziarah disyaratkan untuk bersuci di kaki bukit yang telah tersedia pancuran air. Kemudian peziarah menaiki anak tangga yang dibangun permanen. Perlu ketangguhan fisik untuk menaiki anak-anak tangga yang curam dan menanjak. Namun tangguh secara fisik saja tidak cukup, diperlukan pula niat ikhlas untuk mengunjungi makam Syekh Mahmud yang berada di puncak bukit. Sebab bila niatnya tidak tulus, apalagi disertai niat syirik, maka sulit untuk dapat mencapai puncak bukit Makam Papan Tinggi.

2. Makam Mahligai Dengan 215 Makam

Makam Mahligai
Makam Mahligai terletak di areal seluas 3 hektar di atas pebukitan Desa Dakka, Kecamatan Barus Induk. Makam Mahligai didirikan oleh Tuan Syekh Siddiq, setelah dirinya mangkat jenazahnya juga dikebumikan di kompleks pemakaman tersebut. Jumlah makam yang terdapat di tempat bersejarah itu, diperkirakan lebih kurang 215 makam dengan batu nisan yang besar dan kecil. Makam tersebut dengan ukiran bergaya Arab.

Salah satu makam di kompleks ini adalah Tuan Syekh Rukunuddin, wafat malam 13 Syafar, Tahun 48 Hijriah (48 H) abad ke 7 M, dalam usia 102 Tahun, 2 Bulan, 10 Hari. Bahkan, jelasnya, dari berbagai ukiran terdapat dibatu nisan itu, yakni aksara Arab kuno, aksara Parsi banyak yang sudah tidak dapat terbaca lagi bagi wisatawan dan pengunjung yang datang ke lokasi ini.


Seluruh makam-makam ini menunjukkan fakta sejarah bahwa sekitar abad ke 7 Masehi, agama Islam telah ada di kota Tua Barus, dan melihat tahunnya, Barus merupakan awal mula masuknya Islam di Indonesia, jauh lebih tua dari sejarah Wali Songo di Pulau Jawa.

Makam Mahligai

Menurut pak Jaharuddin (penjaga makam), kata Mahligai bukanlah tak bermakna apa-apa. Dalam bahasa Arab, Mahligai berasal dari Almahligai yang artinya pendatang. Makam Mahligai berarti makam pendatang. Tapi dalam beberapa pendapat lain disebutkan, Mahligai berarti istana kecil, konon kabarnya daerah ini pernah ada istana kecil.

“Barus dulunya memiliki pelabuhan besar dan terkenal hingga ke Arab dan Eropa. Di kawasan inilah sempat berdiam Aulia-aulia yang dimuliakan. Ada 44 Aulia yang dimuliakan yang makamnya ada di Barus. Yang pertema Syech Mahmud di Makam Papan Tinggi dan di Makam Mahligai ada makam Syech Rukunuddin,” jelas Pak Jaharuddin.

Syech Rukunuddin wafat pada 13 Safar tahun 48 Hijriah abad ke-7 dalam usia 102 tahun 2 bulan 10 hari. Selain Makam Papan Tinggi dan Makam Mahligai, terdapat juga banyak makam yang memperkuat keyakinan bahwa daerah bukit-bukit mulai dari Desa Lobu Tua ke arah Utara, Selatan sampai ke ujung bukit makam Mahligai ini, kemudian ke Timur sampai ke Desa Patupangan melalui Desa Pananggahan sudah berusia ribuan tahun. Diperkirakan pula, dulunya semua kawasan ini adalah tepian pantai.

Makam lainnya yang disebut juga Aulia 44 Negeri Barus adalah di Makam Tuan Batu Badan, yang terletak di atas bukit Desa Bukit Hasang, sekitar 2 kilometer dari kota Barus. Makam di Bukit Patupangan, di Kedai Gedang, di Janji Maria, di Sosor Gadong, di Kampung Solok dan di Uratan, di Kinali pinggir sungai Aek Sirana, di Sitiris-tiris, di Manduamas dan di perbatasan Aceh Selatan.

Makam Mahligai

Sayangnya, terasa banyak sejarah yang hilang karena hingga kini kisah sejarah besar itu di abaikan, berdasarkan informasi yang diperoleh Mistikus Cinta dari Syekh Mustafa Mas'ud Al Haqqani yang berasal dari Habib Qomar, bahwa di Tapanuli terdapat 1000 (seribu) makam wali Allah. Jika situs-situs ini tak mendapat perhatian serius, sejarah pun bisa pupus.

Makam Mahligai
Tim arkeologi dari Ecole Francaise D’extreme-Orient, Perancis yang bekerja sama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua – Barus, memberikan telaah baru mengenai sejarah Islam datang ke nusantara. Adanya data-data arkeologis sekitar abad ke-9 sampai 12 Masehi, membuktikan bahwa Barus telah berkembang menjadi kota perdagangan dengan struktur masyarakat multi etnis yang terdiri dari masyarakat Batak, Minangkabau, Bengkulu, Jawa bahkan Bugis, termasuk bangsa asing dari negeri India, Arab, Cina, Tamil dan sebagian kecil Afrika.

Bukti adanya masyarakat multi etnis ini berupa temuan aneka keramik, guci dan batu mulia yang berkualitas tinggi yang telah berusisa ratusan tahun. Bukti ini menunjukkan kesejahteraan masyarakat Barus ketika itu sudah makmur.

Heterogenitas masyarakat kota Barus bertumpu kepada kehidupan ekonomi yang bersandar kepada perdagangan antar bangsa. Berbagai komoditi rempah-rempah tersedia di Barus, terutama kapur barus yang berkualitas tinggi. Letak Barus yang berhadapan dengan lautan luas memudahkan para pedagang dari berbagai negeri berdatangan. Saat itu pelabuhan Samudera Pasai belum dikenal perdagangan dunia.

Banyaknya para saudagar asal Arab yang menetap di Barus menciptakan kemakmuran yang tinggi di daerah ini. Beberapa diantara mereka pernah menjadi utusan dari Bani Umayyah untuk Kerajaan Sriwijaya, sehingga diantara kalangan saudagar Arab sendiri diangkat seorang pemimpin. Sikap terbuka, bersahabat dan kekeluargaan yang ditunjukkan oleh para penguasa bandar kepada kalangan masyarakat lokal, menjadikan mereka begitu terpandang, sehingga mampu menjalin hubungan baik dengan para raja, adipati ataupun pembesar Kerajaan Sriwijaya. Beberapa diantaranya menerima Islam sebagai keyakinan baru. Bukti kemakmuran masyarakat yang didiami saudagar Arab berupa situs makam tua bertarikh abad ke-8 Masehi yang menguatkan keberadaan komunitas Muslim mapan di Barus.

Berdasarkan teori sosiologi, pengelompokan makam yang dibangun merata dan teratur berdasarkan ukuran tertentu di daerah tertentu, membuktikan status tokoh-tokoh yang dimakamkan. Sejarah selalu mencatat, hanya orang-orang besar yang memiliki pemakaman khusus. Dengan demikian kompleks pemakaman ini membuktikan entitas masyarakat muslim di tanah Barus yang telah ada ratusan tahun silam.

Kompleks pemakaman tua ini bernama Makam Mahligai, tidak berapa jauh dari Makam Papan Tinggi. Pada kompleks makam ini, terdapat 43 nisan tua yang berukir aksara Arab kuno dan Persia.

Konon, nama makam ini diambil dari sebuah istana kecil pada zaman dahulu yang dibangun oleh Tuan Syekh Abdul Khatib Siddiq. Setelah wafat, Syekh Siddiq dimakamkan di Makam Mahligai. Selain beliau, sejumlah ulama besar penyebar Islam lainnya dimakamkan disini, diantaranya Syekh Rukunuddin, Syekh Ushuluddin, Syekh Zainal Abidin Ilyas, Syekh Ilyas, Syekh Imam Khotib Mu’azzamsyah Biktiba’i, Syekh Syamsuddin, Tuanku Ambar, Tuan Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku Kayu Manang, Tuanku Makhdum.

Ukuran makam di kompleks ini rata-rata panjangnya 7 meter, datar tanpa ornamen khusus kecuali batu nisan di kedua ujung makam. Nisan makam berbahan batu khusus berwarna coklat terlihat mulai menghitam akibat terkikis zaman. Batu nisan bertuliskan aksara Arab kuno bercampur Persia. Sebagian batu nisan memiliki kesamaan corak dengan makam para Syekh di wilayah Sumatera dan Jawa, yakni memiliki corak India.

Nisan makam Syekh Rukunuddin bertuliskan aksara Arab yang memiliki arti: “Tuan Syekh Rukunuddin, wafat malam 13 Syafar, tahun 48 Hijriah (48 H), dalam usia 102 tahun, 2 bulan, 10 hari atau Ha Min Hijratun Nabiy”. Nisan makam Syekh Rujunuddin hanya ada satu nisan, nisan beliau lainnya disimpan di museum purbakala di kota Medan sebagai bahan untuk penelitian.

Menurut beberapa keterangan sejarah, Syekh Rukunuddin melanjutkan misi dakwah Syekh Mahmud yang dimakamkan di Makam Papan Tinggi. Sebagian ahli sejarah lainnya mengatakan bahwa makam yang berada di Makam Mahligai adalah murid dan pengikut Syekh Mahmud, dimana ajaran Syekh Mahmud bertumpu pada tauhid, mengesakan Allah. Belum ada perintah melaksanakan hukum-hukum Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dibawakan berupa ayat-ayat Makiyyah.

Beberapa catatan pemerhati sejarah perkembangan Islam menyatakan, daerah penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Rukunuddin beserta ulama lainnya dimulai dari Dusun Lobu Tua kemudian bergerak ke wilayah utara, kembali ke selatan hingga di ujung bukit dimana Makam Mahligai berada. Kemudian perjalanan dakwah dilanjutkan ke arah timur hingga ke Dusun Patumangan.

Lingkungan Makam Mahligai terbilang rindang dan sejuk, dinaungi pohon besar dengan hamparan sawah membentang di sisi makam. Keadaan tanah Makam Mahligai bergelombang dan berbukit-bukit. Sebelum memasuki kawasan Makam Mahligai, peziarah disarankan bersuci sebagai penghormatan kepada tokoh-tokoh yang disemayamkan disana.

3. Makam Syaikh Abdul Gani Harahap

Tokoh ini hidup jauh sebelum masa revolusi (diperkirakan sekitar 1818). Beliau menjadi legenda di kampung halamannya, Baringin, Sipirok, Tapanuli Selatan. Dia juga dikenal sebagai penyebar agama Islam di Baringin. Waliyullah yang dicitrakan sebagai seorang yang gagah dengan kuda putihnya ini menyampaikan Islam hingga ke wilayah Tanjung Balai, Asahan. Tak mengherankan bila murid dan pengikutnya bertebaran di sepanjang Tapanuli hingga Asahan.

4. Makam Kramat Jiret Mertuah

Peneliti terdahulu menyebut dengan nama Pageran Bira. Terletak di Desa Pageran Bira Jae, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Tapanuli Selatan. Untuk menuju situs Pageran Bira, dari Gunung Tua ke arah Sibuhuan sejauh 72 km, kemudian ke kanan (barat) sejauh 18 km melewati 3 kecamatan yaitu Kecamatan Lubuk Barumun, Ulu Barumun dan Sosopan. Setelah sampai di Masjid Nurul Iman, desa Pagaran Bira Jae perjalanan dilanjutkan ke kiri melewati jalan setapak sekitar 200 meter.

Makam Kramat Jiret Mertuah
Situs Makam Kramat Jiret Mertuah oleh peneliti terdahulu disebut dengan nama Pageran Bira. Terletak di Desa Pageran Bira Jae, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Tapanuli Selatan. Untuk menuju situs Pageran Bira, dari Gunung Tua ke arah Sibuhuan sejauh 72 km, kemudian ke kanan (barat) sejauh 18 km melewati 3 kecamatan yaitu Kecamatan Lubuk Barumun, Ulu Barumun dan Sosopan. Setelah sampai di Masjid Nurul Iman, desa Pagaran Bira Jae perjalanan dilanjutkan ke kiri melewati jalan setapak sekitar 200 meter.

Situs Makam Kramat Jiret terletak di tengah kebun kopi pada sebidang tanah yang dibatasi dengan “pagar” dari batu kali. Pada jarak sekitar 150 meter ke arah barat laut terdapat sungai Sorimangampu yang mengalir dari barat daya ke timur laut.

Penyebar Islam di Tapanuli bagian Selatan

Napak tilas perkembangan Islam di Barumun, khususnya di Kabupaten Padang Lawas atau Tapanuli bagian Selatan, Sumatera Utara, cukup menarik. Sepanjang hulu Sungai Barumun hingga ke daerah pertemuan Sungai Barumun-Pane merupakan makam keramat Jiret Mertuah.

Situs makam keramat Jiret Mertuah oleh peneliti disebut dengan nama Pageran Bira. Lokasinya di Desa Pageran Bira Jae, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas.

Untuk menuju situs Pageran Bira dari Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara ke arah Padang Lawas, Kota Sibuhuan menempuh jarak 73 kilometer. Kemudian mengambil arah ke kanan atau barat sejauh 18 kilometer melewati Kecamatan Barumun, Ulu Barumun, dan Sosopan. Setelah itu, sampai di Desa Pageran Bira Jae.

Memasuki Pageran Bira Jae kita akan terlebih dulu bertemu dengan Masjid Nurul Imam yang diyakini warga sebagai peninggalan sejarah dari Sultan Hamid Al Muktadir.

Di Masjid Nurul Imam kita juga akan menemukan air yang sangat jernih dan dingin. Air yang berasal dari Bukit Barisan itu digunakan warga untuk wudhu.

Selain itu tampak juga beduk masjid yang berusia ratusan tahun masih utuh. Tiang masjid masih kokoh. Bagian interiornya pun masih original belum pernah diubah.

Dari Desa Pageran Bira Jae, perjalanan dilanjutkan ke makan keramat Jiret Mertuah melewati jalan setapak sekira 200 meter.

Pengakuan warga, bila ingin ke makam tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan, seperti mengambil wudhu dan mengikutsertakan juru kunci atau para ulama setempat. Bila tidak, pengunjung akan tertolak keluar dan mengalami keanehan.

Situs makam keramat itu berada di tengah kebun kopi. Jaraknya sekira 100 meter arah barat laut dari Sungai Sorimangampu yang mengalir dari barat daya ke timur laut.

Di situs itu terdapat dua makam yang diyakini penduduk tempat beristirahatnya pasangan suami-istri.

Hal yang menarik pada situs itu adalah makam kuno yang dibangun di atas bekas candi. Batu-batu candi yang terdapat pada situs itu berjenis andesit dan berbentuk umpak, yoni, kemuncak candi, atau kemuncak pagar langkan.

Makam pertama adalah makam sang suami yang berada di atas tumpukan batu candi dan batu kali dengan ukuran 4,4x1 meter persegi. Nisan pada makam itu berupa kemuncak candi. Di bagian kepala dan kaki terdapat stupa.

Makam kedua, nisan di bagian kepala berbentuk kemuncak candi yang berada di atas lapik batu. Sedangkan nisan di bagian kaki berupa lempengan batu candi berbentuk persegi empat.

Tokoh yang dimakamkan itu dipercaya sebagai penyebar Islam di Tapanuli bagian selatan.

Pada periode 1459 sampai 1462, Kesultanan Aru Barumun yang terletak di muara Barumun, Labuhan Bilik, Sumatera bagian selatan, mengalami masa kejayaan.

Di bawah pimpinan Sultan Malik Al Mansyur putra Malik As Saleh dari Kerajaan Pasai kemudian digantikan Sultan Hasan Al Ghaffur. Setelah itu digantikan Sultan Hamid Al Muktadir. Namun serangan hebat dari Kesultanan Malaka menghancurkan benteng dan armada laut Kesultanan Aru Barumun. Sultan Hamid pun terdesak sampai ke hulu Sungai Barumun.

Warga Pagaran Bira, Kecamatan Hulu Barumun, Padang Lawas, meyakini Sultan Hamid wafat di Bukit Barisan tersebut yang berjarak sekira satu kilometer dari hulu Sungai Barumun.

Raja Nasution, Raja Pagaran Bira, mengatakan, riwayat warga secara turun temurun pemilik makam adalah tokoh besar dari muara Aru Barumun. Peperangan terjadi karena perbedaan pandangan dalam Islam.

Meski terdesak di hulu Sungai Barumun Sultan Hamid tidak berhenti menyiarkan Islam. Ia tetap berdakwah hingga akhir hayatnya dan wafat di tempat tersebut.


Sumber Pustaka:
  • Masjid dan Makam Bersejarah di Sumatera, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2008
  • Claude Guillot, Daniel Perret, Atika Suri Fanani (Translator), Marie-France Dupoizat, Untung Sunaryo, Heddy Surachman, Barus: Seribu Tahun Yang Lalu, KPG, 2008
  • Aswil Nazir, Makam-makam Tua si barus Tapanuli Tengah, 2011
  • Deligeist Production, Melongok Barus, Peradapan Islam. 2011
  • Diedit kembali oleh: Mistikus Cinta (mistikus-sufi.blogspot.com)

https://www.google.com/contributor/welcome/?utm_source=publisher&utm_medium=banner&utm_campaign=ca-pub-2925047938169927
Visit Dukung Aswaja Magazine dengan menjadi Kontributor

Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.

Post a Comment Blogger

 
Top