NU dan Terorisme Berkedok Islam
Oleh KH Abdurrahman Wahid
Dalam sebuah konfrensi internasional, penulis diminta memaparkan pandangannya mengenai terorisme yang tengah terjadi, seperti peledakan bom di Bali dan perbuatan-perbuatan lain yang serupa. Penulis jadi teringat pada penggunaan nama Islam dalam kerusuhan-kerusuhan di Ambon dan Poso, serta peristiwa terbunuhnya para ulama dalam jumlah besar dalam kasus “santet di Banyuwangi”. Tentu saja penulis menjadi terpengarah oleh banyaknya tindakan-tindakan yang dilakukan atas nama Islam di atas.
Tentu saja kita tidak dapat menerima hal itu, seperti halnya kita tolak tindak kekerasan di Irlandia Utara sebagai pertentangan agama protestan melawan Katolikisme. Begitu juga perusakan masjid Babri sebagai pertentangan orang-orang beragama Hindu melawan kaum muslimin di negeri India, walaupun yang bermusuhan memang jelas orang-orang beragama Islam di berbagai negeri tidak terlibat dalam pertikaian dengan tindakan kekerasan seperti di negeri-negeri tersebut.
Dalam jenis-jeinis tindakan teroristik itu, para pemuda muslim jelas-jelas terlibat dalam terorisme yang dipersiapkan. Mereka mendapatkan bantuan keuangan dan latihan-latihan guna melakukan tindakan-tindakan tersebut. Belasan bulan persiapan teknis dan finansial dilakukan, sehingga tidak dapat ia disebut sebagai sesuatu yang bersifat spontanitas belaka. Jika tidak terjadi secara spontan, sudah pasti hal itu merupakan tindakan terror yang memerlukan waktu lama untuk direncanakan dan dilaksanakan. Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap diri mereka bertindak atas nama Islam. Dengan demikian, menjadi jelaslah arti hukum Islam bagi kehidupan mereka, yang terkadang hanya dianggap sebagai kegiatan ilmiah guna membahas kecilnya deskripsi yang dilakukan.
Suatu hal yang harus selalu diperhatikan, yaitu gerakan Islam apapun dan di manapun senantiasa terkait dengan pilihan berikut: gerakan mereka sebagai kultur atau sebagai lembaga atau institusi. Yang mementingkan kultur, tidak begitu memperhatikan lembaga yang mereka dukung. Ambil contoh NU (Nahdlatul Ulama) dengan para anggota atau pengikutnya. Perhatikan dengan seksama “budaya NU” seperti tahlil, halal bi halal, dan mengikuti rukyah (melihat bulan) untuk menetapkan permulaan hari raya. Mereka tidak peduli dengan keadaan lembaga-organisasi yang mereka dukung, dipimpin oleh orang yang tepatkah atau tidak.
Karena itulah, ketika para aktivis muda Islam yang belakangan dikenal sebagai “muslim radikal”, dan kemudian lagi dikenal sebagai para teroris yang memulai konflik di Ambon dan Poso, dan sebagian lagi meledakkan bom di Bali, mereka pun menghadapi pilihan yang sama, mementingkan budaya atau lembaga (institusi). Sebagian dari mereka melupakan “warisan Islam” berupa proses penafsiran kembali “reinterpretasi”-yang sudah dipakai kaum muslmin ratusan tahun lamanya, guna memasukan perkembangan zaman ke dalam ajaran agama mereka. Sebagai akibat, mereka mengembangkan “cara hidup Islam” serba keras dan memusuhi cara-cara hidup lain, dan dengan demikian membuat Islam berbeda dari yang lain. Ini tampak ketika penulis suatu ketika memberikan ceramah kepada para calon dokter di si sebuah fakultas kedokteran. Para calon dokter lelaki dipisah tempat duduk mereka dari para calon dokter perempuan, dan pemisahan mereka itu ‘dijaga” oleh seorang bertubuh kekar yang lalu lalang di tengahnya. pertemuan NU pun tidak sampai sedemikian keadaannya, karena di tengah-tengah tidak ada ‘penjaga” yang bertubuh kekar dan bersifat galak terhadap pelanggaran halangan yang mereka lakukan.
Sikap mementingkan lembaga (institusi) inilah, setidak-tidaknya lebih mementingkan institusi dari kultur- seperti diperlihatkan contoh di atas, menurut pendapat penulis adalah sumber dari terorisme yang berkedok Islam, jika Institusi atau lembaga ke –Islaman ditentang oleh sebuah cara hidup, seperti halnya sekarang cara hidup orang Islam ditantang oleh cara hidup “barat”, maka mereka pun merasa terancam dan bersikap ketakutan. Perasaan dan sikap itu ditutupi oleh tindakan garang kepada “sang penentang”, dan menganggap “budaya sendiri” sebagai lebih dari segala-galanya dari “sang penantang”.
Karena tidak dapat membuktikannya secara pasti dan masuk akal, maka lalu diambil sikap keras, yang kemudian berujung pada terorisme, seperti meledakkan bom (di Bali) dan menculik para turis (seperti dilakukan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan). Mereka lalu menggunakan kekerasan, sesuatu yang tidak diminta atau diperintahkan oleh Islam. Agama mereka menentukan hanya kalau diusir dari rumah-rumah mereka, baru diperkenankan melakukan tindaka kekerasan untuk membela diri (idza ukhriju min diyarihim).
Karena pendekatan institusional yang mereka pergunakan, maka mereka merasa “dikalahkan” oleh peradaban-budaya lain, yaitu “kebudayaan Barat modern”. Dilupakan umpamanya saja, bagaimana Saladin sebagai Sultan Mamalik “mengalahkan” Richard Berhati Singa (The Lion Heart) dengan mengirimkan dokter pribadinya untuk menyembuhkan anak raja Inggris itu dalam perang salib. Dokter tersebut disertai anak Saladin yang dapat saja dibunuh, kalau dokter pribadi itu tidak dapat menyembuhkan anak Richard. Raja Inggris tersebut dengan demikian mengetahui betapa luhur budi Saladin. Dari upaya itu akhirnya ia pulang ke negaranya dan menghentikan Perang Salib.
Demikian pula hubungan antara budaya Islam dan budaya-budaya lain, harus dikembangkan dalam pola menghargai mereka, dengan demikian akan tampak keluhuran Islam yang dipeluk saat ini paling tidak oleh 1/6 jumlah umat manusia. Karena itu, sejak dahulu penulis menolak penggunaan teroris untuk ‘mempertahankan Islam’. Tindakan seperti itu justru merendahkan Islam di mata budaya-budaya lain, termasuk budaya modern di Barat yang telah membawakan keunggulan organisasi, pengetahuan, dan teknologi. Islam hanya dapat “mengejar ketertinggalan’ itu, jika ia menggunakan rasionalitas dan sikap ilmiyah. Memang, rasionalitas Islam sangat jauh berbeda dari rasionalitas lain, karena kuatnya unsur identitas Islam itu. Rasionalitas Islam yang harus dibuktikan dalam kehidupan bersama tersebut, berintikan penggunaan unsur-unsur manusiawi, dengan segala pertimbangannya ditunjukkan kepada ‘sumber-sumber tertulis’ (adillah naqliyyah) dari Allah, seperti ungkapan-ungkapan Tuhan dalam al-Qur’an dan ucapan Nabi (al-Hadits). Karena itu, pengenalan tersebut tidak memerlukan tindak kekerasan apa pun, yang hanya akan membuktikan “kelemahan” Islam saja. Karena itulah, kita harus memiliki sikap jelas mengutuk terorisme, siapa pun yang melakukannya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh mereka yang tidak mengerti perkembangan Islam yang sebenarnya.
Padahal kaum muslimin sejak dahulu terbagi dua, yaitu yang menjadi warga berbagai gerakan Islam (al-munadzamah al-Islamiyyah) dan orang-orang Islam kebanyakan (‘awam atau laymen). Kalau mayoritas warga berbagai gerakan Islam saja tidak menyetujui penggunaan kekerasan (terorisme), apalagi kaum muslimin awam. Inilah yang sering dilupakan para teroris itu dan harus diingat oleh mereka yang ingin melakukan tindak kekerasan, apalagi terorisme, di kalangan para aktivis muslimin. Kalau hal ini tidak diingat, maka tentu saja mereka akan lambat laun berhadapan dengan “kaum awam” tersebut. Para terorisme peledak bom di Bali pada akhirnya berhadapan dengan Undang-Undang Anti terorisme, yang merupakan produk mayoritas kaum muslimin awam di negeri ini. Dari semula, NU bersikap tidak menyetujui tindak terorisme.
Dalam Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, ada pertanyaan dalam “bathsul masail”; wajibkah kaum muslimin di kawasan Hindia Belanda mempertahankan kawasan itu, sedangkan mereka diperintah oleh kaum non-muslimin (para kolonialis Belanda)? Jawab Muktamar; wajib, karena kawasan itu dahulunya memiliki kerajaan-kerajaan Islam, dan kini kaum muslimin dapat menerapkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan bebas. Dictum pertama (mengenai kerajaan-kerajaan Islam di kawasan ini) diambil dari sebuah teks kuno, Bughyah al-Mustarsyidin, sedangkan dictum kedua hasil pemikiran (reinterpretasi) para ulama Indonesia sendiri, tetapi sebenarnya diungkapkan sarjana muslim kenamaan Ibn Taimiyyah, yang di negeri ini kemudian dikenal karena menjadi subjek disertasi doctor Nurcholis Madjid.
Keputusan Muktamar NU sepuluh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan itu, meratakan jalan bagi pencabutan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 oleh para wakil organisasi-organisai Islam di negeri kita, seperti Muhammadiyah dan NU kalau pemimpin dari gerakan-gerakan Islam tidak mewajibkan, berarti negara yang didirikan itu tidaklah harus menjadi negara Islam. Kalau demikian, Islam tidak didekati secara kelembagaan dan institusional, melainkan dari sudut budaya. Selama “budaya” Islam masih ada di negeri ini, maka Islam tidak mengalami kekalahan dan tidak harus “dipertahankan” dengan tindak kekerasan, seperti terorisme.
Islam memiliki cara hidupnya sendiri, yang tidak perlu dipertahankan dengan kekerasan, karena cukup dikembangkan dalam bentuk budaya. Dan inilah yang terjadi, seperti adanya MTQ, penerbitan-penerbitan Islam yang berjumlah sangat banyak, dan berbagai manifestasi ke-Islaman lain. Bahkan sekarang, wajah “kesenian Islam” sudah menonjol demikian rupa sehingga layar televisi pun menampung sekian banyak dari berbagai wajah seni Islam yang kita miliki. Karena itu, Islam tidak perlu dipertahankan dari ancaman siapa pun karena ia memiliki dinamika tersendiri. Sebagai response atas “tekanan-tekanan” modernisasi, terutama dari “proses pem-Barata-an” yang terjadi, kaum muslimin di negeri ini dapat mengambil atau menolak pilihan-pilihan mereka sendiri dari proses tersebut, mana yang mereka anut dan mana yang mereka buang. Karena itu, hasilnya juga akan berbeda-beda dari satu orang ke orang lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain. Penerimaan beragam atas proses itu akan membuat variasi sangat tinggi dari response tersebut, yang sesuai dengan firman Allah; “dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk dapat saling mengenal (wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila li ta’arafu)” (QS al-Hujurat [49]:13). Ayat itu jelas memerintahkan adanya kebhinnekaan dan melarang ekslusivisme dari kalangan kaum muslimin manapun.
Sebenarnya diantara “kalangan terorisme” itu, terdapat juga mereka yang melakukan tindak kekerasan atas perintah-pesenan dari meraka yang tadinya memegang kekuasaan. Karena mereka masih ingin berkuasa, mereka menggunakan orang-orang itu atas nama Islam, untuk menghalangi proses-proses munculnya rakyat ke jenjang kekuasaan. Dengan demikian, kalangan-kalangan itu memiliki tujuan menghadang proses demokratisasi dan untuk itu sebuah kelompok kaum muslimin digunakan untuk membela kepentingan orang-orang tersebut atas nama Islam. Sungguh sayang jika maksud itu berhasil dilakukan. Rasa-rasanya, NU berkewajiban menggagalkan rencana tersebut, dan karenanya bersikap konsisten untuk menolak tindak kekerasan dalam memperjuangkan “kepentingan Islam”.
Islam tidak perlu dibela sebagaimana juga halnya Allah. Kedua-duanya dapat mempertahankan diri terhadap gangguan siapa pun. Inilah yang dimaksudkan firman Allah; “Hari ini Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku, dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama (al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum nikmati wa radlitu lakum al-Islama dinan)’ (QS al Maidah [5]:3) menunjuk dengan tepat mengapa Islam tidak perlu dipertahankan dengan tindakan apa pun, kecuali dengan melaksanakan cara hidup Islam itu sendiri. Sangat indah untuk diucapkan, namun sulit dilaksanakan, bukan?
*) Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat, 12 April 2003
Sumber:
Post a Comment Blogger Facebook