Aswaja Magazine

0
Benarkah Memakai Cincin Batu Akik Haram
Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalami demam batu akik. Setiap toko batu akik selalu diserbu para penggemarnya, bahkan penemuan batu Giok seberat 20 ton di Aceh yang begitu menghebohkan dan diperebutkan.

Direktur Pusat Kajian Hadis Dr Ahmad Lutfi Fathullah mengatakan, batu akik jadi haram dijual jika berkeyakinan sebagai sumber kekuatan, jimat, atau membawa berkah. "Kalau mengarah ke sana berarti syirik," katanya, Selasa, (17/2) melalui Republika.

Akik yang dijual kepercayaannya sebagai jimat, terang dia, bisa mencapai harga di atas Rp 10 juta. Namun, kalau hanya batu akik biasa karena keindahannya, paling harganya sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu.

Bagaimanakah hukum memakai batu akik, benarkah memakai batu akik haram? Berikut uraian dan dalilnya.

Hukum Memakai Batu Akik

Sebuah riwayat Imam Muslim yang menjelaskan bahwa cincin Rasulullah saw itu terbuat dari perak dan batu mata cincinya berasal dari negeri Habasyi.

عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ خَاتَمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَرِقٍ وَكَانَ فَصُّهُ حَبَشِيًّا -رواه مسلم

“Dari Anas bin Malik ra ia berkata, bahwa cincin Rasulullah saw itu terbaut dari perak dan mata cincinnya itu mata cincin Habasyi”. (HR. Muslim)

Menurut Imam Nawawi para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan, “mata cincinnya itu mata cincin Habasyi” adalah batu yang berasal dari Habasyi. Artinya batu mata cincinnya itu dari jenis batu merjan atau akik karena dihasilkan dari pertambangan batu di Habsyi dan Yaman. Pendapat lain mengatakan bahwa batu mata cincinnya berwarna seperti warna kulit orang Habasyi, yaitu hitam.

Sedangkan dalam Shahih al-Bukhari terdapat riwayat dari Hamin dari Anas bin Malik yang menyatakan mata cincinnya itu terbuat dari perak. Dalam pandangan Ibnu ‘Abd al-Barr ini adalah yang paling sahih.

Dari sinilah kemudian lahir pendapat lain yang mencoba untuk mempertemukan riwayat Imam Muslim dan Imam Bukhari. Menurut pendapat ini, baik riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim maupun Shahih al-Bukhari adalah sama-sama sahihnya. Maka menurut pendapat ini Rasulullah saw pada suatu waktu memakai cincin yang matanya terbuat dari perak, dan pada waktu lain memakai cincin yang matanya dari batu yang berasal dari Habsyi. Bahkan dalam riwayat lain menyatakan bahwa batu mata cincin beliau itu dari batu akik.

وَكَانَ فَصُّهُ حَبَشِيًّا ) قَالَ الْعُلَمَاءُ يَعْنِى حَجَرًا حَبَشِيًّا أَىْ فَصًّا مِنْ جَزْعٍ أَوْ عَقِيقٍ فَإِنَّ مَعْدِنَهُمَا بِالْحَبَشَةِ وَالْيَمَنِ وِقِيلَ لَوْنُهُ حَبَشِىٌّ أَىْ أَسْوَدُ وَجَاءَ فِى صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ مِنْ رِوَايَةِ حَمِيدٍ عَنْ أَنَسٍ أَيْضًا فَصُّهُ مِنْهُ قَالَ بْنُ عَبْدِ الْبَرِّ هَذَا أَصَحُّ وَقَالَ غَيْرُهُ كِلَاهُمَا صَحِيحٌ وَكَانَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى وَقْتٍ خَاتَمٌ فَصُّهُ مِنْهُ وَفِى وَقْتٍ خَاتَمٌ فَصُّهُ حَبَشِىٌّ وَفِى حَدِيثٍ آخَرَ فَصُّهُ مِنْ عَقِيقٍ

“(Dan mata cincinnya itu mata cincin Habasyi). Para ulama berkata maksudnya adalah batu Habasyi yaitu batu mata cincin dari jenis batu merjan atau akik. Karena keduanya dihasilkan dari penambangan batu yang ada Habsyi dan Yaman. Dan dikatakan (dalam pendapat lain) warnanya itu seperti kulit orang Habasyi yaitu hitam. Begitu juga terdapat dalam Shahih al-Bukhari riwayat dari Hamid dan Anas bin Malik yang menyatakan bahwa mata cincinya itu dari perak. Menurut Ibnu Abd al-Barr ini adalah yang paling sahih. Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa keduanya adalah sahih, dan Rasulullah saw pada suatu kesempatan memakai cincin yang matanya dari perak dan pada waktu lain memakain cincin yang matanya dari batu Habasyi. Sedang dalam riwayat lain dari akik.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H, juz, 14, h. 71)

Namun terdapat keterangan lain yang menyatakan bahwa apa yang dimaksudkan, “mata cincinnya itu mata cincin Habasyi” adalah salah satu jenis batu zamrud yang terdapat di Habasyi yang berwarna hijau, dan berkhasiat menjernihkan mata dan menjelaskan pandangan”

وَفِي الْمُفْرَدَاتِ نَوْعٌ مِنْ زَبَرْجَدَ بِبِلَادِ الْحَبْشِ لَوْنُهُ إِلَى الْخَضْرَةِ يُنَقِّي الْعَيْنَ وَيَجْلُو الْبَصَرَ

“Dan di dalam kitab al-Mufradat, (batu cincin yang berasal dari Habasyi) adalah salah satu jenis zamrud yang terdapat di Habasyi, warnanya hijau, bisa menjernihkan mata dan menerangkan pandangan” (Lihat Abdurrauf al-Munawi, Faidlul-Qadir, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1451 H/1994 M, juz, 5, h. 216)

Lantas bagaimana hukum memakainya? Menurut Imam Syafi’i hukum memakai batu mulia atau batu akik seperti batu yaqut, zamrud dan lainnya adalah mubah sepanjang tidak untuk berlebih-lebihan dan menyombongkan diri.

قَالَ الشَّافِعِيُّ- وَلَا أَكْرَهُ لِلرِّجَالِ لُبْسَ اللُّؤْلُؤِ إلَّا لِلْأَدَبِ وَأَنَّهُ مِنْ زِيِّ النِّسَاءِ لَا لِلتَّحْرِيمِ وَلَا أَكْرَهُ لُبْسَ يَاقُوتٍ أَوْ زَبَرْجَدٍ إِلَّا مِنْ جِهَةِ السَّرَفِ وَالْخُيَلَاءِ

“Imam Syafii berkata dalam kitab al-Umm, saya tidak memakruhan laki-laki memakai mutiara kecuali karena terkait dengan etika dan mutiara itu termasuk dari aksesoris perempuan, bukan karena haram. Dan saya tidak memakrukan (laki-laki, pent) memakai yaqut atau zamrud kecuali jika berlebihan dan untuk menyombongkan (diri)”. (Muhammad Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Bairut-Dar al-Ma’rifah, 1393 H, juz, 1, h. 221)

Sunah Dalam Memakai Cincin

Pernyataan Imam al-Nawawi, “Muslim sepakat bahwa pria disunahkan untuk memakai cincin mereka pada jari kelingking” adalah berdasarkan hadits, “Nabi Suci (s) memakai cincinnya pada jari kelingking di tangan kirinya” (Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, Musnad Ahmad dsb.)

Namun demikian, ini bukan berarti merupakan hal yang ekslusif, melainkan bahwa siapa yang melakukan hal ini berarti mengikuti sunah.

Sedangkan untuk pemakaian cincin pada jari manis (baik di tangan kiri maupun tangan kanan), ada pendapat yang berbeda, baik yang setuju maupun yang menentangnya. 

Syekh `Abd Allah al-Lahji di dalam Muntaha al-Sul (1:547), yang merupakan komentar besarnya pada Wasa’il al-Wusul ila Syama’il al-Rasul, dari al-Nabhani mengatakan bahwa, “Tidak ada hadits apapun yang menyebutkan tentang jari manis, apakah diriwayatkan dari Nabi (s) atau salah satu Sahabat… oleh sebab itu sunahnya adalah memakainya pada jari kelingking.”

Namun demikian, klaim bahwa tidak ada hadits seperti itu (yang menyebutkan jari manis) adalah tidak benar karena ada hadits-hadits sebagai berikut:

(i) Hadits dari Sayyidina `Ali (semoga Allah memuliakan wajahnya), “Nabi (s) melarangku untuk memakai cincin di jari ini dan jari ini,” dan beliau menunjuk jari telunjuk dan jari tengah (Shahih Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa (memakainya di) ibu jari, jari manis dan jari kelingking adalah dibolehkan;

(ii) Hadits dari Abu Musa al-Asy`ari (r): “Nabi (s) melihatku memindahkan cincinku dari jari telunjuk ke jari tengah dan beliau berkata, “Memakai cincin hanyalah untuk jari ini dan jari ini,” dan beliau menunjuk pada jari kelingking (khinsir) dan jari manis (binsir) (Musnad al-Ruyani 1:324 §490). Hal ini menegaskan hadits sebelumnya untuk penggunaan jari manis dan jari kelingking, tetapi tidak termasuk ibu jari.

Oleh karena itu posisi yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Sulayman al-Jamal di dalam komentarnya pada Syama’il-nya al-Tirmidzi di mana beliau berkata, “Sunah telah terpenuhi sepanjang cincin dipakai pada salah satu dari kedua jari terakhir dari tangan.” 

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.

https://www.google.com/contributor/welcome/?utm_source=publisher&utm_medium=banner&utm_campaign=ca-pub-2925047938169927
Visit Dukung Aswaja Magazine dengan menjadi Kontributor

Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.

Post a Comment Blogger

 
Top