Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.[1]
Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang yang bertaqlid disebut mukallid.
Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
a) Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b) Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.[2]
Defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:
- Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:
التّقليد قبول بغير حجّّة وليس طريقا للعلم لافى الاْصول ولافى الفروع
“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”
- Al-Asnawi dalam Kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
التّقليد هو الاْخذ بقول غير دليل
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
- Ibnu Subki dalam Kitab Jam’ul Jawami mendefinisikan:
التقليد هو اخذ القول من غير معرفة دليل
“Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.[3]
Hukum dan Ketentuan Bertaqlid
Para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:
1. Taqlid yang haram
Para ulama sepakat bahwa haram melakukan taqlid yang jenis ini. Jenis taqlid ini ada tiga macam, yaitu:
a) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surat al-Ahzab ayat 64-67:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam api neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan kepada Rasul. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami”. (QS. Al-Ahzab: 64-67)
b) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah. Firman Allah dalam surat At-Taubah: 31.
Artinya:
“Mereka menjadikan para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan”. (QS. At-Taubah: 31).
c) Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti menyembah berhala, tetapi dia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala itu.
2. Taqlid yang dibolehkan
Yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.
3. Taqlid yang diwajibkan
Taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan, dan ketetapannya dijadikan hujjah, yakni Rasulullah Saw.
Taqlid pada Imam Madzhab
قال العلامة محمد أمين الكردي الإربلي : ولا يجوز تقليد غيرهم بعد عقد الإجماع عليهم؛ لأن مذاهب الغير لم تُدوَّن، ولم تُضبَط؛ بخلاف هؤلاء.
ومن لم يقلد واحداً منهم، وقال: أنا أعمل بالكتاب والسنة !! مدّعياً فهم الأحكام منهما، فلا يُسَلَّم له، بل هو مخطئ ضال مُضل، سيما في هذا الزمان الذي عمَّ فيه الفسق وكثرت فيه الدعوى الباطلة؛ لأنه استظهر على أئمة الدِّين وهو دونهم في العلم والعمل والعدالة والاطلاع ..”[تنوير القلوب : ص ٤١].
Berkata Al’Allamah Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irbili:
Dan barangsiapa yang tidak bertaqlid kepada salah seorang dari mereka (salah satu imam yang empat) dan berkata: “Aku beramal dengan al-Kitab dan as-Sunnah, mengaku-ngaku paham hukum dari al-Kitab dan as-Sunnah, maka tidak bisa diterimalah ucapannya, bahkan mereka itu salah, sesat menyesatkan, apalagi di zaman sekarang ini, zaman yang sudah merata di dalamnya kefasikan dan banyak pendakwah (da’i) yang bathil (karbitan), karena mereka menampakkan dirinya sederajat dengan Aimmatud Din (Imam empat madzhab) padahal dia derajatnya jauh di bawah mereka, baik dari segi ilmu, amal dan keadilan, maupun informasi ilmu pengetahuan.” (Tanwirul Qulub: halaman 41).[4]
Referensi:
[1] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 323.
[2] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.132.
[3] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, ….., h. 324.
[4] Ust. Abah En – Katulampa, Taqlid pada Imam Madzhab, MFA
Post a Comment Blogger Facebook