Pendahuluan
Siti Zainab atau Dewi Wardah, merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam mula-mula yang ada di Gresik. Selain itu, Siti Zainab merupakan istri kedua dari Sunan Giri. Saat menyebarkan agama Islam, beliau memusatkan daerah penyebarannya hanya di desa Sudi Monggo, yang kemudian terkenal dengan desa Diponggo.
Makam Siti Zainab ini banyak dikunjungi sebagai wisata religi yang terletak di desa Diponggo, kecamatan Tambak Bawean. Di desa ini Waliyah (Wali Wanita) Siti Zainab membangun sebuah masjid untuk berdakwah pada waktu itu.
Waliyah Siti Zainab meninggal dan dimakamkan di belakang masjid yang beliau dirikan. Selain meninggalkan bangunan masjid Waliyah Siti Zainab juga meninggalkan benda-benda bersejarah lain miliknya, seperti kendi, tombak, cawan besar dari besi, piring keramik, entong, batok kelapa besar, dan beberapa lagi lainnya. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut masih tersimpan rapi di sebuah ruangan belakang makam.
Menelisik Perjalanan Waliyah Siti Zainab
Waliyah Zainab mendarat Di Bawean diperkirakan lebih awal di bandingkan dengan kedatangan Maulana Umar Mas’ ud. Tujuan utama kedatangan Waliyah Zainab ke Bawean (Diponggo) tidak hanya menyiarkan agama Islam, tapi melainkan juga bersilaturahmi. Kehadiran beliau di tengah-tengah masyarakat Diponggo memberikan suasana baru. Dalam keseharian orang Diponggo Waliyah Zainab dijadikan idola dalam pergaulan. Masyarakat Diponggo bukan hanya tertarik pada kepribadian beliau, melainkan juga tertarik terhadap bahasanya. Awalnya masyarakat Diponggo meniru bahasa yang digunakan beliau karena dianggap lucu. Tapi pada akhirnya mereka pun juga menggunakan bahasa yang di bawa beliau antar mereka, antar tetangga hingga antar kampung. Sementara itu Waliyah Zainab merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Diponggo karena tidak bisa berbahasa Bawean dengan baik sehingga beliau mencampuradukkan bahasa Jawa dan Bawean. Dari bahasa yang di bawa beliau maka lahirlah bahasa Diponggo yang ada hingga pada saat sekarang ini. Tapi uniknya, bahasa ini tidak tersebar ke desa lain karena faktor geografis. Karena letak perkampungan Desa Diponggo agak jauh dari desa-desa yang ada disekitarnya. Sehingga bahasa ini hanya di gunakan antar tetangga dan antar kampung di Desa Diponggo. Waliyah Zainab sendiri hanya memilih untuk bergaul dengan orang-orang Diponggo, dan akhirnya beliau keburu meninggaal dunia sebelum beliau berkomunikasi dengan orang-orang di luar Desa Diponggo. Sedangkan sepeninggalan Waliyah Zainab, orang-orang Diponggo merasa malu menggunakan bahasa Diponggo jika berkomunikasi dengan orang-orang di luar Desa Diponggo, atau memang tidak perlu karena belum tentu orang-orang di luar Desa Diponggo mengerti bahasa Diponggo. Dengan begitu bahasa Diponggo tidak berkembang meluas ke desa-desa lain di Bawean, cukup dimiliki masyarakat Diponggo sampai saat sekarang ini. Ternyata Waliyah Zainab memiliki banyak kelebihan, baik sewaktu hidupnya maupun setelah wafatnya. Sehingga masyarakat Diponggo menggelarinya Waliullah Zainab. Penilaian tersebut rasanya tidak berlebihan karena ada beberapa penggal kisah yang berkembang sampai saat ini yang menunjang alasan masyarakat menggelari beliau.
Beliau mempunyai benda peninggalan yang disebut “Gelebung”, benda Gelebung ini adalah bejana yang digunakan untuk menempatkan nasi setelah di ambil dari periuk. Bahannya terbuat dari kuningan yang berukuran 25 cm dan berdiameter 75 cm dengan tebal sekitar 5 mm. Gelebung tersebut pada masa hidup beliau di gunakan untuk tempat nasi untuk selamatan atau hajatan. Konon, jika Gelebung tersebut di isi dengan nasi tidak akan penuh walaupun di isi terus menerus, sebelum mencukupi untuk di hidangkan. Jika Gelebung tersebut sudah penuh, berarti nasi yang ada di dalam Gelebung tersebut akan mencukupi berapapun jumlah orangnya.
Selain itu, juga ada peninggalan Waliyah Zainab yang lain berupa Keris, Tombak, dua piring kuno yang diperkirakan berasal dari Dinasti Ming dan Tsing, Sendok dan lainnya. Masing-masing benda tersebut memiliki cerita tersendiri. Sekarang benda-benda tersebut disimpan di kompleks Masjid Diponggo yang konon katanya Masjid tersebut di bangun Waliyah Zainab bersama para muridnya hanya dalam waktu semalam. Menurut cerita empu disana, pada masa dahulu benda-benda peninggalan Waliyah Zainab tersebut akan bergerak-gerak dan setidaknya hujan akan turun dengan tiba-tiba jika ada orang Komalasa memasuki kawasan Desa Diponggo. Pada masa kecilnya Waliyah Zainab bernama Dewi Wardah, putri Kiai Ageng Bungkul (Sunan Bungkul), salah seorang Pembesar Kota Surabaya keturunan Raja Majapahit. Dewi Wardah dinikahi oleh Sunan Giri (Raden Paku), tetapi Sunan Giri (Raden Paku) sudah lebih dulu menikahi Dewi Murtasiyah puteri dari Sunan Ampel. Karena Dewi Wardah tidak ingin di madu, maka beliau pergi berlayar ke arah utara dengan menaiki “Sentong ” atau kelopak bunga kelapa. Maka sampailah beliau di sebuah pulau disebelah utara laut Jawa yang kita kenal dengan Pulau Bawean. Konon beliau mendarat tepat di pesisir pantai Desa Komalasa, dan kemudian beliau mengganti namanya dengan Siti Zainab. Kedatangan Siti Zainab di sambut dengan tidak sepenuh hati oleh masyarakat setempat. Karena beliau dianggap wanita yang bepergian seorang diri dan mengenakan pakaian compang-camping. Pada saat itu segenap masyarakat Komalasa sedang dilanda wabah penyakit kulit yang banyak menjangkit para masyarakat Komalasa. Kedatangan Waliyah Zainab di pesisir pantai Komalasa di ketahui sejumlah masyarakat setempat, melihat penampilan Siti Zainab yang compang-camping, masyarakat Komalasa beranggapan bahwa beliaulah yang membawa penyakit kulit tersebut.
Maka masyarakat Komalasa dengan ramai-ramai megusir beliau untuk pergi dari Komalasa, lalu Waliyah Zainab segera pergi dengan hati yang sedih ke atas pegunungan untuk bersembunyi, dengan hatinya yang sedih beliau pergi meninggalkan Desa Komalasa karena beliau merasa “tak etangghek” oleh masyarakat Komalasa. Dengan menyusuri pegunungan, ngarai, sawah dan sungai akhirnya beliau beristirahat sejenak di dusun Pedalaman atau “Padhelemman” (Lebak). Waliyah Zainab terus berjalan kearah timur mencari air untuk di minum karena beliau sangat haus, tapi yang menyakitkan ketika beliau sampai di dusun Sungairaya beliau meminta air minum, namun tak ada yang sudi untuk memberinya. Karena beliau merasa marah, beliau berkata dalam hatinya “mudah-mudahan orang Sungairaya juga kehausan” dan mungkin itulah sebabnya pada sampai saat sekarang tidak ada sumber mata air. Walaupun beliau sudah dalam keadaan lunglai, tapi beliau tetap melanjutkan perjalanannya dengan membawa barang-barang pusakanya. Waliyah Zainab terus berjalan tak menentu kemana arah tujuannya, sawah, sungai, ladang, padang rumput, dan pegunungan pun juga beliau lalui, maka sampailah beliau di sebuah pesisir pantai di daerah Tambak Timur. Disana beliau menemukan sebuah rumah yang di huni sebuah keluarga sepuh suami istri. Karena Waliyah Zainab sudah tidak kuat lagi menahan rasa haus, maka beliau meminta air minum kepada salah seorang penghuninya yaitu Emba Buuk. Akhirnya Emba Buuk memberi air minum dan Emba Buuk juga menawari beliau untuk bermalam dan beristirahat di rumahnya. Akan tetapi Waliyah Zainab menolak penawaran Emba Buuk dan memilih melajutkan perjalanannya, konon setelah Emba Buuk di tinggal Waliyah Zainab, harta yang di miliki Emba Buuk semakin bertambah dan sehingga Emba Buuk terkenal sebagai orang yang sangat kaya di kalangan masyarakat Tambak. Waliyah Zainab melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur, beliau sampai di sebuah tanjung desa Diponggo, beliau bingung sebab jika beliau meneruskan perjalanannya maka beliau harus mengarungi lautan lagi, maka akhirnya beliau memilih untuk mengadukan nasibnya di tanjung tersebut dengan menagis sejadi-jadinya, akhirnya tanjung tersebut di namakan Tanjung Menangis. Pada suatu hari Waliyah Zainab bermaksud ingin mencari sesuap nasi ke perkampungan namun beliau tidak berani karena takut akan disambut dengan lebih menyakitkan hatinya, maka beliau hanya mondar-mandir di tumbuhan perdu.
Tiba-tiba disebuah lereng gunung Diponggo beliau bertemu dengan Embah Rambut (Dikatakan Embah Rambut karena rambutnya sangat panjang). Waliyah Zainab berkenalan dengan Embah Rambut, Embah Rambut menawarkan beliau untuk bermalam dan tinggal di rumahnya, Diponggo. Akhirnya Waliyah Zainab menerima permintaan Embah Rambut dengan senang hati, atas jasa Embah Rambut lah Waliyah Zainab mulai bergaul dengan masyarakat setempat. Ternyata Desa Diponggo benar-benar menjadi tempat terakhir sebagai persinggahan beliau.
Waliyah Zainab atau Dewi Wardah istri kedua Sunan Giri wafat dan di makamkan di Desa Diponggo, bukan yang ada di Giri, Gresik. Dalam sebuah riwayat Waliyah Zainab atau Dewi Wardah yang masih tertulis di daun lontar yang berbahasa Arab – Pegon di Museum Sultan Hasanuddin, Baten, Jawa Barat. Pada daun lontar tersebut di ceritakan kehidupan Dewi Wardah yang akhirnya wafat dan di kuburkan di Desa Diponggo, Bawean, yang tidak lain adalah Waliyah Zainab yang kini makamnya terletak di belakang Masjid Diponggo.
Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar
Waliyah Zainab adalah generasi keempat penerus ajaran Syeikh Siti Jenar. Sejauh ini belum banyak diungkap siapa gerangan yang menjadi penerus ajarah Syeikh Siti Jenar yang kontroversial itu; “Manunggaling Kawulo Gusti”.
Sosok Waliyah Zainab ditengarai mempraktikkan ajaran Siti Jenar, sebab ia mendapat didikan langsung dari sang ayah, Sunan Duwur, dan kakeknya Sunan Sendang. Sunan Sendang adalah orang yang mengkodifikasikan ajaran Siti Jenar. Naskah itu tidak berjudul, tetapi memuat apa yang disebut Sastro Cettho Wadiningrat (Ilmu Nyata Rahasia Kehidupan), atau disebut juga Ilmu Kabegjan (Ilmu Mencapai Kebahagian Sejati) yang semakna dengan Hikmah al-Islamiyah, dalam kajian tawawuf.
Kajian tasawuf sendiri memuat akidah-syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat. Syeikh Siti Jenar mengistilahkan Catur Wiworo Werit (Empat Perjalanan yang Sempit) dalam menegaskan betapa empat jalan; syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah, bukanlah jalan yang gampang (werit). Untuk itu, manusia mesti menanamkan keempat hal pokok itu secara sempurna. Barulah ia akan mencapai aqidah (keimanan) yang sempurna, sebab keimanan itu tidaklah hanya sekedar “percaya” an sich kepada Allah, melainkan kecintaan (hubb). Bila sempurna, maka sang hamba akan merasa bersatu dengan Tuhannya. Demikianlah juga apa yang dipraktekkan oleh Waliyah Zainab.
Waliyah Zainab, disamping meneruskan ajarah Siti Jenar, juga menjadi pemuka agama di Pulau Bawean. Ia meneruskan benih Islam yang telah dakwah Islam yang telah disemai oleh Putri Condrowulan. Namun, keberadaannya di Bawean tak lepas dari konstalasi politik di Jawa. Artinya, Bawean menjadi pulau tempat pengasingan, yang kelak justru Islamisasinya cukup merata, khususnya di masa Umar Mas’ud, adipati utusan kerajaan Sumenep, Madura, yang datang kemudian. Sejauh ini baru Jacob Vredeberg yang mengungkap Islamisasi di Bawean dalam karyanya Bawean dan Islam (1992).
Referensi :
Buku
Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar: Sejarah Agama dan Peradaban Islam di Pulau Bawean - Penulis : M. Dhiyauddin Qushwandhi, Penerbit : Yayasan Waliyah Zainab Diponggo, Bawean, Gresik. Cetakan : Pertama, Maret 2008
Internet
- http://www.eastjava.com/tourism/gresik/ina/siti-jaenab.html
- http://www.bawean.net/2012/02/karena-waliyah-zainab-mereka-berbahasa.html
- http://baweantourism.com/product/59/73/Waliyah-Zainab-Putri-Pewaris-Syeikh-Siti-Jenar-Sejarah-Agama-dan-Peradaban-Islam-di-Pulau-Bawean
- http://www.mistikuscinta.com
Wuih hebat anda telah mengubah sejarah desa diponggo dan emba waliyah zainab.. Dalam buku yg di tulis ter sebut tidak demikian
ReplyDelete