Aswaja Magazine

0
Islam Nusantara

Islam, bagi kita bangsa Indonesia itu Islam Nusantara. Anda bebas menyapa Allah dengan panggilan "Tuhan" atau menyebut "sembahyang" untuk sholat atau "puasa" untuk shaum atau "hari minggu" untuk hari ahad, bahkan tak mengapa mas paimin menyebut "sekaten" untuk syahadatain atau mas parjo menyebut "sarengat" untuk kata syari'at. Atau menyebut "sedulur" untuk "Akhi" atau "ayah" untuk "aby".

Penebar syi'ar da'wah sudah terlalu banyak yang melangit, padahal Allah meminta kita menjadi khalifah di bumi. Turunlah sejenak dari ketinggian. Sapalah mbo tukiyem yang meskipun hanya penjual sayur di pasar kaget, tetap selalu jujur dalam transaksi dan amat menghargai pembeli.

Menyapa orang-orang sholeh yang masih setia menjaga ekosistem karya Sang Pencipta, bermain lumpur, menarik orang-orangan sawah, memelihara hutan dengan pohon-pohon, melawan deru buldoser yang menyayat kedalaman batin mereka.

Islam Nusantara itu ramah lingkungan, sebagaimana budaya lama nenek moyang kita yang menyenangi gotong-royong dan kesederhanaan.

Baju koko (taqwa), kopiah (qolansuah) dan sarung (syarngan-syar'an) tak mengapa engkau kenakan, tak perlu juga menggantinya dengan gamis atau peci putih. Keningmu yang tak menghitam tak perlu digosok-gosok saat sujudmu, biar saja, meski tidak berjidat hitam, engkau tidak lantas disebut "tidak sholeh"!

Islam Kaaffah yang universal itu sangat menghargai kearifan lokal, Islam Import yang memaksakan dengan dalih Syar'i malah terjebak pada aksi Takfiri.

Belakangan, informasi sejarah tentang peran Walisongo dalam pembentukan Islam di Nusantara mulai dihilangkan. Lihat saja buku-buku sejarah Islam yang masuk kurikulum nasional. Perlahan-lahan symbol-simbol Islam Nusantara dieliminir.

Saya rasa perlu pemahaman kembali soal simbol. Ini soal simbol Jawa misalnya, dalam beberapa ajaran Walisongo diperkenalkan begini:

"Jowo di gowo. Arab digarap. Barat diruwat."

Artinya, bawa Jawamu, bawa Bugismu, bawa Sundamu, bawa Padangmu, bawa Nusantaramu sebagai nilai universalitas Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Kedua, Arab itu digarap. Artinya, apa yang datang dari Arab itu harus di pribumisasi. Agar terbedakan mana nilai Arab dan mana nilai Islam. Bedug itu khas Nusantara sebagai wasilah penanda waktu datangnya shalat tapi Adzan tetap dikumandangkan. Blangkon itu berfungsi penutup kepala lalu menjadi kopiah hitam ya silahkan saja, substansinya ajaran kerendahan hati, agar kepala yang banyak akalnya itu ditundukkan dengan penutup kepala.

Ketiga, Barat itu diruwat artinya perlu detoksifikasi atas budaya barat yang kebablasan. Apa yang datang dari barat tidak harus ditolak hanya di filter dengan nilai-nilai Islam. Sehingga Islam Nusantara menjadi sebuah aksi nyata. Penggunaan teknologi informasi berbasis internet silahkan dipakai, tapi ya untuk kemaslahatan bukan untuk aktifitas tiada guna.

Islam Nusantara itu apik sekali, merawat kemaslahatan budaya dengan santun dan pekerti luhur. Karena itu, prinsip yang digunakan adalah: al-muhafazhah bil qodim ash-sholih wal akhdzu bil jadid al-ashlah yaitu memelihara budaya lama yang baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik.

Maka dalam salah satu sumber hukum Islam disebut yang namanya al-'urf atau al-'âdah muhakkamah yakni adat atau kebiasaan itu menjadi hukum. Tarku al-'âdah 'adawah artinya meninggalkan adat kebiasaan itu dapat menciptakan permusuhan.

"Saya suka mengaji ust, asalkan ustadz-nya berdasarkan Al-Quran dan Sunnah"

Saya tanya, "meskipun suka mengkafirkan?"

"Saya nda mengelompokkan kelompok Islam yang mana, yang penting berdasarkan Al-Quran dan Sunnah."

Hmmm, kalo soal sekedar mengaji berdasarkan Al-Quran dan Sunnah rasanya perlu diluruskan. Lha wong teroris kejam-kejam itu juga selalu bilang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Kelompok yang suka mengkafirkan sesama muslim itu juga selalu bilang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.

Begini, mengaji berdasarkan Al-Quran dan Sunnah itu penting, karena keduanya adalah sumber hukum utama dalam Islam. Tetapi, mendasarkan seluruh persoalan kepada Al-Quran dan Sunnah tanpa keilmuan yang ber-mata rantai tentu mustahil. Karena apa yang kita terima sekarang ada peran keilmuan dari para ulama.

Pertama-tama saya mengingatkan kembali yaaa. Teks Al-Quran pada zaman nabi itu tidak persis sama dengan apa yang kita lihat sekarang (dalam bentuk mushaf), lalu orang non-Arab yang masuk Islam semakin banyak. Mereka kesulitan baca Al-Quran, hingga Abul Aswad Ad-Du'ali membuat titik dalam tulisan Arab (wadh'u an-nuqat 'alal huruf) itu baru pada tahun 62 H dan Imam Kholil bin Ahmad al-Farohidi membuatkan harokat, nah sementara ilmu Tajwid baru disusun oleh Abu Ubay Qosim bin Salam pada tahun 200an Hijriyah. Jadi kita tidak bisa baca Al-Quran dengan benar tanpa ilmu Tajwid. Lah ilmu Tajwid itu bid'ahnya Imam Qosim.

Apalagi Hadits yang baru disusun pada masa kekhalifahan Umar bin Abd Aziz tahun 100 Hijriyah. Pembukuan seluruh Hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama Hadist pada masanya.

Jadi, perlu keilmuan panjang untuk sampai kepada Al-Quran dan Sunnah. Karena itu hal-hal yang tidak secara jelas ditemukan dalam Al-Quran dan Sunnah diperlukan ijtihadnya para ulama. Berabad-abad lamanya, peran keilmuan Ulama sangat penting jadi jangan di bypass hanya dengan mengatakan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah.

Caramu menyalahkan dengan membabi-buta lalu menghimpun dirimu dalam kesatuan yang eksklusif melukai nasionalisme kami, bila menurutmu, negara ini sudah sangat Kafir dan tak laik dihuni, silahkan kembali ke negeri asalmu, dan biarkan kami tumbuh secara sederhana, seperti Walisongo dulu menyebarkan dakwah damai karena kami mencintai kearifan dan kedamaian.

Habib Taufiq al-Kaff dari Jepara selalu menyanyikan Indonesia Raya sebelum pembacaan Qishoh Maulid ar-Rasul. Ini salah satu titik temu Islam Nusantara yang mengusung nasionalisme. Kyai Ahmad Dahlan mengajar sambil menggesek biola sedangkan Kyai Hasyim Asy'ari memainkan rebana. Nahdlatul 'Ulama dan Muhammadiyah lahir dari rahim bunda pertiwi yang menginisiasi perjuangan berbasis "hubbul wathon minal iman" - cinta tanah air sebagian dari iman.

Sementara pendatang baru yang hobi mengkafirkan itu tak mengakui nasionalisme, jadi sebaiknya hengkang saja dari negeri ini. Islam Nusantara berdiri di atas kecintaan pada budaya bangsa yang toleran, bersahaja dan bergotong royong. Kami tidak ingin seperti Mesir yang jumawa dengan keangkuhan kekuasaan sehingga menyebabkan ribuan orang meninggal. Kami juga bukan Syuriah yang gampang di adu domba. Kami ini mencintai Indonesia... Itu saja!


Sumber:
Broadcast BBM Ustadz Enha (Pengasuh Istana Yatim)

https://www.google.com/contributor/welcome/?utm_source=publisher&utm_medium=banner&utm_campaign=ca-pub-2925047938169927
Visit Dukung Aswaja Magazine dengan menjadi Kontributor

Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.

Post a Comment Blogger

 
Top