Aswaja Magazine

1
Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa kepada kalian sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa". (QS. Al-Baqarah : 183)

Kata "Sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian" dalam ayat tersebut masih menyimpan banyak pertanyaan, apakah sisi keserupaan tersebut hanya dalam konteks kewajiban saja atau ada keserupaan dalam hal larangan, kadar dan waktu puasanya?.

Sebelum melangkah lebih jauh membahas sisi keserupaan ini, sejenak kita lihat seperti apa Sejarah Puasa Dalam Islam, yang intinya adalah: Puasa yang disyariatkan pada awal masa Islam itu tak seringan seperti yang kita rasakan sekarang. Pada awalnya, jika seseorang belum sempat berbuka kemudian tertidur maka ia tidak boleh makan dan minum begitu juga bersenggama sampai tiba waktu berbuka di esok harinya. Akan tetapi hal ini sangatlah berat bagi Kaum Muslimin pada waktu itu, hingga seorang Sahabat yang bernama Qais Bin Shirmah pingsan di siang harinya kala ia bekerja di Kebun Kurma, yang tak lain karena pada malam harinya ia tidak sempat berbuka dan terlanjur tidur. Kemudian turunlah Ayat Al-Qur'an yang intinya dari rentang waktu Maghrib sampai Shubuh diperkenankan makan, minum dan bersenggama.

Lalu, bagaimanakah dengan Puasa pada Ummat Nasrani dahulu (sebelum adanya perubahan dan penyelewengan)?

Sebagian dari Kalangan Tabi'in memandang keserupaan Puasa yang ada pada Ummat Islam dan Ummat terdahulu itu dari sisi kewajibannya disertai dari sisi waktu dan kadarnya, ini menurut Asy-Sya'bi, Qotadah, Mujahid dan Hasan Al-Bashri. Kemudian As-Siddi, Abu Al-'Aliyah dan Ar-Rabi' menambahkan bahwa keserupaannya itu juga pada sisi cara pelaksanaannya, yaitu mereka juga dilarang dari makan, minum dan bersetubuh. 

Imam Al-Qurthubi menyebutkan dalam Tafsirnya (Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an) ketika mengomentari pendapat kalangan dari Tabi'in yaitu Asy-Sya'bi, Qotadah dll: "Bahwasannya Allah telah mewajibkan Puasa Ramadhan pada Kaumnya Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s., akan tetapi mereka merubahnya. Kemudian Ulama' (Pendeta) mereka menambahkan 10 hari, akan tetapi sebagian dari pendeta ada yang sakit kemudian bernadzar andai Allah menyembuhkannya maka ia akan menambahkan puasa 10 hari, kemudian dia (yang sakit) menepati Nadzarnya. Maka puasanya Ummat Nasrani menjadi 50 hari, sehingga puasa menjadi berat bagi mereka (terlebih) dalam cuaca panas. Kemudian pendapat ini diriwayatkan dari Ar-Rabi', dan pendapat inilah yang dipilih oleh An-Nuhas kemudian beliau (An-Nuhas) berkata: "Inilah yang paling serupa dengan ayat (Al-Baqarah: 183)". Mujahid juga berkata: "Allah telah mewajibkan Puasa Ramadhan kepada semua Ummat".

Imam Al-Qurthubi berkata: "Dalam hal ini ada Hadits yang membenarkan pernyataan tersebut, dari Dughfal Bin Handzalah dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Dahulu Ummat Nasrani wajib berpuasa selama satu bulan, kemudian ada seorang di antara mereka yang sakit. Kemudian mereka (Ummat Nasrani) berkata: "Andai Allah menyembuhkannya niscaya kami akan menambahkan (puasa) 10 hari". Kemudian ada orang lainnya yang makan daging yang menyebabkan rasa sakit pada mulutnya, kemudian mereka berkata: "Andai Allah menyembuhkannya niscaya kami akan menambahkan (puasa) 7 hari". Kemudian ada pula Raja yang sakit. Kemudian mereka berkata: "Sungguh kami berharap yang 7 hari ini, maka kami akan berpuasa di musim semi". Kemudian beliau (Imam Al-Qurthubi) berkata: "Maka puasa mereka menjadi 50 hari". 

Akan tetapi ada yang menyebutkan bahwasannya mereka telah membuat perjanjian, maka mereka berpuasa sehari sebelum 30 hari (puasa wajib) dan sehari sesudahnya dari masa ke masa hingga pada akhirnya menjadi 50 hari. Akan tetapi terlalu berat bagi mereka berpuasa di musim panas (Ramadhan) sehingga dipindah ke musim semi. 

Sedangkan berikut ini adalah yang diriwayatkan Imam Ibn Katsir dari 'Ibad Bin Manshur dari Al-Hasan, beliau berkata: "Demi Allah, sungguh Allah telah mewajibkan puasa kepada setiap Ummat yang telah berlalu, sebagaimana diwajibkan kepada kita selama sebulan penuh". Serta riwayat dari Ibnu Umar, beliau berkata: "Puasa Ramadhan telah Allah wajibkan pula pada Ummat sebelum kalian".

Mungkin untuk memperjelas 2 riwayat tersebut tentang perubahan dan pengalihan puasa yang terjadi pada Ummat Nasrani, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobari dengan sanadnya dari As-Siddi, dan riwayat ini juga disebutkan oleh pengarang Ad-Durr Al-Mantsur penjelasan dalam Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 183: "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa kepada kalian sebagaimana telah diwajibkan pula kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertakwa". 

Beliau (Imam Ath-Thobari) berkata: "Adapun Ummat sebelum kita yaitu Nasrani, telah diwajibkan Puasa Ramadhan kepada mereka. Dan diwajibkan pula untuk tidak makan dan tidak minum setelah tidur, begitu juga untuk tidak bersenggama dengan Istri mereka pada Bulan Ramadhan. Akan tetapi hal ini terlalu berat bagi mereka hingga akhirnya mereka berkumpul dan memutuskan agar Puasa Wajib tersebut dilaksanakan antara musim dingin dan musim panas. Kemudian mereka berkata: "Kita akan menambahkan 20 hari sebagai penebus apa yang telah kita lakukan (yaitu memindah puasa)". Maka jadilah puasa mereka 50 hari". Tafsir Ibn Katsir Juz 1 Hal. 213

Maka dari itu, sejatinya Puasa yang ada pada Ummat Nasrani serupa dengan Puasa yang ada pada Ummat Islam sampai akhirnya mereka merubah ketentuan waktu dan kadar puasanya. Inilah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu'adz Bin Jabal dalam Hadits sebelumnya. Karena itu As-Siddi, Abu Al-'Aliyah dan Ar-Rabi' berpendapat bahwasannya keserupaan yang terjadi antara Puasanya Ummat Nasrani dan Ummat Islam tidak terjadi pada ketentuan waktu dan kadarnya saja akan tetapi juga terjadi keserupaan pada cara dan larangannya. Sebagaimana mereka telah dilarang untuk makan, minum dan bersenggama. Nah, ketika tiba waktu berbuka puasa maka tidak ada yang boleh melakukan hal-hal terlarang tersebut ketika mereka telah tidur (malam), dan hal ini juga terjadi pada masa awal Islam sampai akhirnya Allah menghapus aturan tersebut dengan ayat berikut: "Telah dihalalkan bagi kalian untuk bercampur (senggama) pada malam hari puasa". (QS. Al-Baqarah: 187).

Dari ini bisa kita simpulkan maksud keserupaan yang ada pada QS. Al-Baqarah Ayat 183 tersebut ada pada semua konteks dan sisi puasa tersebut, mulai dari larangan, waktu dan kadarnya.


Oleh : Imam Abdullah El-Rashied
Mahasiswa Imam Shafie College, Hadramaut - Yaman.

https://www.google.com/contributor/welcome/?utm_source=publisher&utm_medium=banner&utm_campaign=ca-pub-2925047938169927
Visit Dukung Aswaja Magazine dengan menjadi Kontributor

Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.

Post a Comment Blogger

  1. Mengurangi Ketidaktahuan Menjadi Tahu (Bukan Tempe...) :)

    ReplyDelete

 
Top