Aswaja Magazine

0
Oleh : Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi

Amira…
Duhai mimpi terindah yang menyelimuti jiwaku selama 42 bulan.
Duhai kemilau cahaya yang menerangiku dari Puncak Surga.
Amira…
Duhai nama yang menjadi bunga terakhir yang aku miliki dalam Oase dan kebunku yang kini tak lagi berbunga.
Duhai Anugerah terakhir yang ku miliki yang kini telah berpaling.
Duhai kenangan indah tamanku yang rimbun.
Duhai mega merah yang terkuburkan oleh tenggelamnya Mentari.
Amira…

Ini adalah bulan ke enam semenjak kematian membentangkan tabirnya di antara kita. Masih saja kedukaan itu menutup wajah dan hatiku seperti dahulu. Kegelisahanpun enggan meninggalkanku, begitupun ketenangan tiada pula menghampiriku.

Masih saja dunia terasa asing bagiku setelah kepergianmu, sedangkang kegaduhannya terus menyengat hatiku laksana tawa orang-orang yang senang akan nasib sialku.

Masih saja luka hatiku belum terpulihkan, terselimuti oleh rasa sakit dan tenggelam dalam kobaran api. Api yang tak terpadamkan oleh kunjungan Mentari di pagi hari, tak pula terpadamkan oleh kehadiran hari yang silih berganti. Api yang kobarannya tak mengecil oleh dekapan keputusasaan, tak pula mengecil oleh tiupan sepoi angin pengharapan dan bisikan-bisikan mimpi dan angan.

Dunia telah kembali setelah kepergianmu sebagaimana mestinya, berjalan melalui jalurnya, seolah-olah hal ini belum terjadi.

Masih saja Mentari terbit setiap harinya dari balik rumah kita sebagaimana dahulu kala. Masih saja ia mengirimkan cahayanya ke arah tembok melalui celah-celah cendela rumah kita. Hingga ia-nya mendekati arah peraduannya kemudian menguning seperti biasanya, kemudian menggulung ekor-ekor cahayanya dan menutup diri di balik bukit.

Wajah langit kala malam tiba, setelah kepergianmu masih saja seperti sediakala. Bintang-bintangnya yang bertebaran yang tiada sanggup aku menghitungnya, masih saja mereka memancarkan kemilau cahaya putihnya di tengah malam yang gelap gulita seperti untaian mutiara yang pernah berkilau di atas Gaunmu yang indah menawan.

Musim semi…

Setelah kepergianmu, musim semi telah kembali tanpa membawa perubahan sebagaimana yang kita lalui bersama. Yaitu di hari hari kita terhenti di atas tenunan suteranya di bawah bunga-bunga yang tersiram oleh cahaya Mentari dan Pohon Persik yang menjalar di taman di hadapan rumah kita yang kecil. Di hari kita menghirup udara bersama di hamparan musim semi yang penuh warna, di tepian Pantai dalam perjalanan kita menuju Kota Ladzikia. [Ladzikia adalah sebuah Kota yang terletak di Pantai Barat Republik Suriah]

Tiada satupun dari semua itu yang berubah karena lamanya ratapan. Bahkan tiadapun satu bunga yang layu dalam kobaran api kesedihan.

Burung-burungnya masih saja bernyanyi persis sebagaimana kau temui dulu. Kicauan yang tiada henti dan lagu yang tiada pernah berubah. Hanya saja nyanyian dan kicauan tersebut tiada memberi kesan yang berarti akan kesedihanku, sebagaimana engkau ketahui.

Bunga Violet yang engkau sukai dan Bunga Lili Kuning yang sempat kau kumpulkan untukku dari musim semi tersebut, masih saja abadi di antara taman-taman. Masih saja kedua bunga tersebut menerbakkan semerbak bau yang khas tanpa adanya perubahan sedikitpun.

Suara kodok-kodok di aliran air yang berdekatan, telah kembali bersama musim semi yang baru. Membangunkan orang-orang yang tidur bersamaan terbitnya fajar yang baru, dalam senandung paduan suara mereka sebagaimana engkau ketahui.

Orang-orang…

Orang-orang dan kawan-kawanku yang dahulu mereka berduka karena musibah yang menimpaku di mana mereka mengenakan topeng kesedihan di wajah mereka karena diriku. Kemudian mereka melepas topeng tersebut setelah beberapa waktu, hingga akhirnya mereka menjauh dariku dan berlalu menuju urusan dan dunia mereka.

Bahkan kerabat dari keluargamu, yang dahulu menangis karena musibahku pada waktu itu. Masih saja ingatan mereka tak terkosongkan dari ungkapan kesedihan dan kepedihan. Masih saja lisan mereka tiada lelah mengulang-ngulang kenangan itu hingga akhirnya mereka kembali menuju kelalaian dan kegembiraan mereka. Malam-malam mereka kembali lagi sebagai sediakala, tersuguhi oleh berbagai makanan yang berselera dan pesta-pesta yang tak ada gunanya. Akan tetapi perbincangan tentangmu, masih saja menjadi pilihan utama dalam daftar pembicaraan, yang membuat tenang jiwaku dan menghabiskan waktuku.

Masa telah kembali ke jalannya setelah kepergianmu sebagaimana mestinya. Orang-orangpun kembali menuju perjalanan hidup mereka yang penuh keceriaan. Sedangkan aku tersendiri dan terasingkan di tengah-tengah mereka. Tertinggal dari rombongan dan tersesat dari haluan.

Tiap kali Matahari terbit, ku lihat ia nampak berpaling dari wajahku, menutup diri dari padndanganku. Sedangkan manakala ia hendak tenggelam, ia senandungkan lagu perpisahan tanpa suara yang terpatri dalam sanubariku dengan Gitar kematian. Kemudian nyanyian tersebut berpadu dengan desah nafas kematian yang terhempaskan saat kita berpisah.

Musim Semi menyambut dengan warna hijau yang terhampar luas, dengan semerbak bunga dan selasihnya. Aku tak melihat itu semua melainkan mengembalikan ingatanku dengan Musim Semi yang kita lalui bersama. Musim Semi yang mengembalikanku pada semerbak desahan nafasmu, kemudian ia memintalku dalam tenunan sutera yang menawan dari kedua matamu yang berbinar kehijauan.

Aku lihat orang-orang yang datang dan pergi di muka bumi ini, orang-orang yang tenggelam dalam kelalaian dan kesenangandan orang-orang yang berjalan saling bergandengan di balik harapan dan cita-cita. Tidaklah aku menemukan diriku melainkan sebagai orang yang hilang dan terasingkan di tengah kerumunan mereka. Aku tak menemukan kesenangan yang sia-sia dalam kegaduhan mereka, melainkan seolah-olah sebagai orang yang tersiksa oleh teriakan para pencaci di sekitarnya.

Aku menjadi tawanan dalam jalan yang mereka lalui, berpindah-pindah mengikuti arah kepergian mereka. Hanya saja, sebagaimana tertiupnya awan di musim panas, di tengah angin yang kering dan berdebu, atau seperti ranting pohon dari sisa-sia musim gugur yang terombang-ambing oleh ombak di lautan lepas, itulah keberadaanku saat ini.

Tiada ku lihat semesta, baik di kala cerah maupun petang, melainkan semesta tersebut terendam dalam nestapa dan kegelapan yang menyelimutiku. Seolah-olah semesta tersebut masih terpenjara dalam waktu itu, waktu di mana aku mengantarkan mimpi-mimpi indahku saat ku titipkan dirimu dalam kotak kayu yang terpendam di bawah timbunan tanah yang bisu.

***

Lanjut ke Bagian 2

https://www.google.com/contributor/welcome/?utm_source=publisher&utm_medium=banner&utm_campaign=ca-pub-2925047938169927
Visit Dukung Aswaja Magazine dengan menjadi Kontributor

Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Mubina Tour Indonesia | Follow FB Fanspages Mubina Tour Indonesia - Sub.

Post a Comment Blogger

 
Top