Pesantren Al-Masthuriyah atau ‘pasantren Tipar’ julukan dari masyarakat sekitar– berdiri sejak tahun 1920 di Kampung Tipar, Desa Cibolangkaler (dulu Desa Cibungaok, kemudian Desa Cimahi), Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi (7 km arah barat kota Sukabumi).
Pada 9 Rabiul Akhir 1338 H, bertepatan dengan 1 Januari 1920, KH. Masthuro mulai mendirikan sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Ahmadiyah yang merupakan cabang dari Madrasah Ahmadiyah Sukabumi. Nama Ahmadiyah dipilihnya karena beliau adalah lulusan Madrasah Ahmadiyah Sukabumi dan tidak ada hubungannya dengan nama sebuah aliran dalam Islam.
Pada tahun 1941, KH. Masthuro mulai mengelola Madrasah dan pesantrennya secara mandiri dan terpisah dari status cabangnya. Nama pun diubahnya menjadi Sekolah Agama Sirojul Athfal. Walaupun dari istilahnya Siroj berarti lampu dan athfal berarti anak laki-laki. Kemudian, atas saran dan hasil musyawarah pada tahun 1950 dibentuklah sebuah lembaga baru, dengan nama Sekolah Agama Sirojul Banat. Hal tersebut memungkinkan diterimanya santri perempuan untuk belajar di pesantren ini.
Perkembangan selanjutnya, secara berturut-turut, KH. Masthuro mendirikan Madrasah Tsanawiyah Sirojul Athfal/Banat pada tahun 1967 dan Madrasah Aliyah Sirojul Athfal/Banat pada 1968. Pada tahun ini pula, tepatnya tanggal 27 Rajab, KH. Masthuro menghadap Ilahi dan meninggalkan lembaga rintisannya yang kini sudah besar dan sudah menebarkan alumninya ke berbagai penjuru daerah di Indonesia, bahkan sudah sampai ke negeri yang jauh.
KH. Muhammad Masthuro dalam mengemban amanat kelangsungan hidup sarana pendidikan yang dibinanya dengan kesungguhan dan keikhlasan. Beliau memegang semua bidang studi, yang dengan kearifannya, tugas-tugas tersebut akhirnya dapat didelegasikan kepada generasi berikutnya tanpa menimbulkan goncangan sosial yang berarti. Tongkat estafet kepemimpinan tersebut dapat di¬selesaikan oleh beliau dengan baik, dibuktikan dengan munculnya tokoh-tokoh baru sepeninggal beliau. Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah: KH. Syihabuddin Masthuro (alm), KH. E. Fachruddin Masthuro, dan KH. Abdul Aziz Masthuro. Akhirnya ketiga tokoh tersebut yang memimpin pengembangan pesantren pada periode berikutnya.
Pada tahun 1974 nama Sirojul Athfal/Banat dirubah menjadi Perguruan Islam Al-Masthuriyah. Sistem pendidikan yang dipergunakan Al-Masthuriyah adalah mengembangkan jenjang pengajaran thalabah khususiyah, meliputi bidang-bidang kajian ilmu tafsir, hadits, fiqih/ushul, mantiq, tasawwuf, dan tata bahasa Arab/alat. Seluruh santri yang menempuh pendidikan di Perguruan Islam Al-Masthuriyah dianjurkan tinggal di asrama yang tersedia. Dengan sistem asrama, diharapkan santri dapat melakukan proses pendidikan sepanjang hari dan dapat mendorong para santri lebih aktif melatih dan mengamalkan setiap ilmu yang diperoleh.
Keturunan dari KH. Masthuro sebagai penerus estafet kepemimpinan berpikir keras untuk berupaya bagaimana agar Al-Masthuriyah yang dirintisnya ini tetap eksis bahkan lebih berkembang. KH. Masthuro sendiri mengharapkan demikian. Ia sebelum wafat memberikan wasiat, di antaranya ‘kudu ngamajukan sakola jeung pasantren.’ (harus memajukan sekolah dan pesantren-pen). Oleh karena itu, pengkajian ilmu pengetahuan pada periode ini semakin meluas ke daerah lain dan bukan hanya ilmu pengetahuan agama saja.
Suasana religius pesantren Al-Masthuriyah yang bercorak salafy secara murni bertujuan menciptakan orang-orang terdidik dengan jiwa keagamaan yang luas, tinggi, dan mendalam. Dengan jiwa keagamaan tersebut, alumni Al-Masthuriyah mempunyai kepribadian yang kukuh, seorang santri diharapkan akan menjadi warga masyarakat yang berbudi luhur dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Sesuai dengan visinya, Pesantren Al-Masthuriyah mengukuhkan dirinya menjadi suatu wadah pendidikan kader ulama yang murni salafy bernuansa budaya khas, di mana segala kegiatan yang berhubungan dengan usaha pendidikan kader ulama dapat ditemukan di sini untuk menggalang dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, khususnya umat Islam.
Adapun tujuan dari pendirian Perguruan Islam Al-Masthuriyah ini adalah Untuk mempersiapkan peserta didik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik sehingga bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Hal tersebut sesuai dengan proses pembinaan kepribadian pendidikan yang dilakukan di Al-Masthuriyah dengan mengarah pada tumbuh-kembangnya kemampuan individu dan mengutamakan Iffah (pengendalian hawa nafsu), Quwwatul iradah (berpendirian kokoh), Assyaja’ah (berani untuk menegakkan kebenaran), Shabar (tangguh menghadapi cobaan), Pemaaf, Ihsan (penyayang), dermawan, dan senantiasa mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri, selain juga mampu bekerjasama dan bertindak jujur dalam melakukan kebajikan.
Murid yang belajar di Perguruan Islam Al-Masthuriyah ini berjumlah sekitar 3600 orang, sedangkan santri mondok sekitar 800 orang. Mereka berasal dari masyarakat yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, kalau diklasifikasikan mereka berasal dari masyarakat sekitar Kabupaten/Kota Sukabumi, siswa dari setiap Kabupaten se-Jawa Barat, bahkan ada pula dari luar propinsi, seperti DKI Jakarta (Jabodetabek), Banten, Lampung, Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Bengkulu, dan Irian Jaya.
Penyelenggaraan pembelajaran di pesantren Al-Masthuriyah pada umumnya dibuat menjadi suatu pola terpadu antara pendidikan kepesantrenan yang mengedepankan nilai-nilai keilmuan dan moralitas serta pendidikan formal yang mengedepankan nilai-nilai intelektualitas, science dan teknologi.
Pondok pesantren Al Masthuriyah memiliki potensi yang cukup besar dalam pengembangan peserta didik. Melalui berbagai metoda pemahaman keislaman yang salafy, yakni fokus pendidikan yang diorientasikan pada pemahaman, pendalaman, dan pengamalan nilai-nilai Islam berdasarkan pendekatan intelektual dan spiritual, yang tetap digunakan Al Masthuriyah dalam mentransfer keilmuannya kepada santri dan peserta didik sampai sekarang, serta dengan didukung sarana dan fasilitas yang cukup kondusif dan memadai.
Pesantren Al Masthuriyah memberikan layanan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Memberikan ruang yang setara pada kedua jenis kelamin tersebut. Kesempatan dan pelajaran yang diberikan juga mencerminkan keadilan bagi keduanya.
Kepedulian pesantren ini pada kesetaraan juga dibuktikan dengan keterlibatannya pada program penguatan kesetaraan sejak tahun 90-an. Kosistensi pesantren ini dilanjutkan dengan keterlibatan anggota keluarga pesantren ini dengan program Pengkaderan Ulama Perempuan yang diadakan Rahima dan berlanjut sampai sekarang. Semoga upaya pesantren ini membuahkan santri-santri yang berilmu tinggi, berakhlak mulia dan peduli pada persoalan masyarakat.
Keterangan: informasi lebih lengkap dapat melihat profil pon-pes Al Masthuriyah, melalui http://almasthuriyah.com
Post a Comment Blogger Facebook